Kiamat Sudah Lewat
Kiamat sudah lewat. Suara Anak-anak Korban Tsunami Aceh. Membaca judulnya di etalase toko buku, saya sudah tertarik ingin membacanya. Cover dan judul buku ini cukup menarik dan mengundang keingintahuan pembaca. Covernya berwarna dasar putih dan bertuliskan nama anak-anak yang berbagi pengalaman dalam buku ini. Ada 20 anak, antara lain Rizqina Rosma, Martunis, Anggi Reza Harris, dll.rnrnrnBuku ini merupakan hasil program Mercy Corp Indonesia yang berinisiatif mengadakan kegiatan menulis pengalaman bencana bagi anak-anak, untuk memulihkan kondisi sosial ekonomi anak-anak Aceh. Ada 462 cerita yang kemudian dipilih lagi 20 cerita yang menggugah oleh Editor untuk dimuat dalam buku ini.rnrnrnBab Surat-menyurat menampilkan surat-surat dan foto anak-anak sekolah di AS dan Kanada. Mereka mengirimkan surat untuk anak-anak Aceh. Isi suratnya antara lain mengungkapkan duka cita, keprihatinan, simpati dan doa mereka untuk anak-anak itu. Bahkan sebuah sekolah membuat dan mengirimkan ratusan gelang Harapan untuk anak-anak Aceh. Sungguh mengagumkan kepedulian mereka terhadap sesama.rnrnrnHalaman awal menampilkan foto Presiden RI, Bapak SBY dan Presiden AS George W. Bush berfoto bersama. Di tangan pak SBY ada foto seorang anak yang selamat dari bencana.. Nada Luthfiyyah namanya. Nada membalas surat-surat simpati yang ditujukan padanya. Dan uniknya, surat itu tidak dikirimkan melalui pos ke AS tetapi dibawa langsung oleh SBY dan dibacakan di depan banyak orang.rnrnrnBab Kisahku adalah bagian utama yang berisi pengalaman anak-anak Aceh. Cerita pertama dituturkan oleh T.Aldilla Mayusti (usia 12 tahun), berjudul “Bola Voli Molten Pemberian Allah,†Aldi yang berasal dari Sigli ini menceritakan dengan detil saat-saat bencana itu terjadi. Saat nyaris tenggelam, ia terantuk sebuah benda yang ternyata bola voli yang dianggapnya pemberian dari Allah. Ia berpegangan pada bola voli itu. Alhamdulillah, Aldi dan keluarganya selamat, ia bahkan menyimpan bola itu dalam kotak kaca sebagai kenangan.rnrnrnSelain itu, ada kisah dari Karimuddin (Usia 12 tahun). Judulnya “Semangat Baruku,†Karim disebut ayahnya si Pemberani. Karena ia tak takut melihat mayat dan berani embantu mengurus mayat korban. Suatu hari, ia bermain di rawa dengan perahu kayu buatannya, dan menemukan tengkorak manusia. Ia masukkan kerangka itu ke dalam plastik mayat dan menyerahkannya pada ayah.rnrnrnKesedihan. Kengerian yang dalam. Begitulah kesan yang saya dapat membaca pengalaman anak-anak ini. Mereka mengisahkan dengan detil bagaimana tragedi minggu pagi 26 Desember 2004 itu. Bagaimana gempa dahsyat. Air laut yang surut. Gelombang raksasa yang hitam menyeret apa saja yang dilewatinya. Rumah hancur. Mayat bergelimpangan. Teriakan minta tolong. Sungguh tak terbayangkan.rnrnrnYa, Anak-anak itu kehilangan segalanya. Rumah. Sekolah. Saudara. Orangtua. Sahabat. Namun, dibalik trauma, saya melihat keoptimisan mereka untuk terus hidup. Untuk maju. Subhanallah. Saya melihat semangat itu pada semua anak. Pada Nia Sylvia, dalam tulisannaya,â€Buku Pelajaranku Yang Lenyap, Bukan Tekadku,†juga pada Ari Maulana, dalam “Kisah Anak Camp,â€.rnrnrn“Hari-hari kujalani dengan senyum, walaupun terkadang rasa takut itu ada, karena gempa terus-menerus. Namun aku tidak boleh lemah dan patah semangat, aku harus berjuang karena jalanku masih panjang. Hidup dari camp ke camp bukan halangan, yang penting sekolah terus dan ngaji tetap jalan,†begitu tulis Ari di akhir ceritanya. Sungguh, dari anak-anak ini kita belajar banyak. Empati terhadap sesama dan semangat mereka yang tak pernah padam. Benar, kiamat sudah lewat bagi mereka.rn
No other version available