Awas Kucing Hilang
Buku mungil dengan cover imut ini cukup menggelitik rasa penasaran saya. Pasalnya, sebelumnya, sang penulis, Rayni N. Massardi bercerita bahwa ia sedang “dikejar-kejar†penerbit untuk segera menyelesaikan bukunya agar dapat cetak dan rilis sesuai waktu yang sudah dijadwalkan. Ketika buku ini sampai ke tangan saya, rasa penasaran semakin membuncah.rnrnBuku ini berisi cerita-cerita pendek mengenai berbagai jenis hewan, seperti Bonzo si kucing, Lady si kelinci, Suprit si kecoa, dan lain sebagainya. Saya agak bingung mengategorikan kisah-kisah tersebut sebagai fabel ataukah sebuah kisah metafora (seperti yang diungkapkan penyiar Farhan di halaman pembuka). Tiap cerita pendek di dalam buku ini memiliki kekuatan tersendiri. Ya, walaupun hanya berupa cerita pendek dan berkisah mengenai hewan, entah mengapa kisah-kisah tersebut begitu melekat di benak pembaca yang membuat pembaca akan merenungi maksud kisah tersebut. Saya melihat kisah-kisah di buku ini dibuat tidak hanya sebagai media penghibur semata, ada maksud tertentu yang mendasari pembuatan cerpen-cerpen tersebut. Hampir seluruh cerita berisi satire, seperti kisah Melika, seekor ulat yang menyukai kebebasan dan tantangan. Namun, ia harus mengesampingkan itu semua karena ibunya memintanya untuk berada di rumah dan menjaga adik-adiknya. Ini seperti potret keadaan sebagian wanita Indonesia yang masih belum bisa mendapatkan kebebasan untuk menentukan nasibnya sendiri.rnrnAda juga kisah mengenai kelinci bernama Lady yang sangat disayang oleh majikannya. Bahkan, saat banjir melanda rumah sang majikan, Lady mendapatkan perlakuan sangat istimewa. Walaupun Lady sempat dititipkan di pengungsian, penghuninya segera menjemputnya dan memandikannya menggunakan peralatan khusus yang tentu harganya tidak murah. Perlakuan istimewa yang diterima Lady tentu bertolak belakang dengan keadaan korban banjir yang berada di tempat yang sama dengan Lady. Mereka (para manusia) saja tidak mendapatkan perlakuan khusus seperti itu. Ketidakpedulian kepada sesama memang masih sering terjadi di kalangan masyarakat Indonesia. Sungguh kisah yang tragis.rnrnTiga belas cerpen yang ada di buku ini dikemas dengan gaya penceritaan yang santai sehingga muda dicerna. Rayni menggunakan bahasa sehari-hari (untungnya bukan bahasa berat ala karya sastra yang membuat saya harus sampai mengerutkan kening untuk mencerna maksud kisah tersebut) dan sesekali disisipi dengan lelucon dan humor yang (sekali lagi) terasa sangat satire. Jadi, tiap membaca buku ini, saya sering sekali mengeluarkan ekspresi senyuman miris dan mengangguk di tiap akhir cerita.rnrnLucu, sederhana, santai, dan unik!
No other version available